Saturday, December 10, 2011

Chapter One - Intro

Tidak terasa, sudah genap lima tahun usia kanvas milikku ini. Kupandangi jendela kamar. Seraya merekonstruksi kembali, saat itu, kapan, dimana, bagaimana…kanvas itu bisa menjadi milikku. Awalnya kupikir belum saatnya aku memerlukan sebuah kanvas. Mengingat kesibukanku yang jauh dari corat-coret kuas. Nyatanya saat itu aku lebih sering menghabiskan waktu dengan berkutat di depan komputer. Soal menggambar pun, aplikasi yang ada di dalam komputer sudah cukup memenuhi kebutuhanku.

Di tengah “my dark age”, Dia menitipkan kanvas yang bisa jadi aku belum siap menerima, namun aku benar-benar tidak mampu menolak setelah melihatnya. Benar-benar sesuai dengan apa yang kubayangkan. Untuk beberapa saat, semua perhatianku terpusat pada kanvas itu. Timbul bergunung-gunung pikiran di benakku. Apa yang harus kulakukan lebih dulu, apa yang harus kukatakan,…benar-benar tidak dapat tertata dengan baik. Semuanya luluh saat aku memandangi kanvas itu. Saat yang tidak tepat, namun tetap membuatku bersyukur.

Segala konflik, keruwetan yang timbul sebelum aku mendapat kanvas -totally chaos- seolah sirna ketika kuamati, sambil tersenyum-senyum sendiri. “Tugas apalagi yang Engkau mandatkan padaku, Ya Rabb?”. Pertanyaan itu seringkali muncul saat itu. How could I arrange if I barely couldn’t make an initiative act.

Media menggambarku selama ini cukup menggunakan dua tombol satu scroll di tangan kanan, dan tiga-empat jari di sisi kiri. Pun kalau ada ketidaksesuaian, tinggal klik “panah terbalik” atau menekan shortcut’nya.

Kali ini,,,

Tidak hanya kedua tangan maupun lengan yang bakal bekerja keras. Metode try and error pun ketat sekali toleransinya. Satu kali kekeliruan, aku HARUS mampu memperbaiki tanpa ada kesalahan lagi. Aku harus berhati-hati memilih komposisi warna. Kapan lagi aku bisa mendapat kanvas seperti ini. Sekali belepotan, bakal butuh waktu yang lama untuk membersihkannya. Terkadang aku merutuk, jangan sampai kesabaranku habis…jangan sampai.

Celakanya, apa yang kubayangkan benar-benar terjadi. Di saat memulai memilah-milah warna apa yang harus kupoleskan, orang-orang di sekitarku -dengan berbagai opini dan interferensinya-, bak kawanan lebah yang berdengung-dengung di atas kepalaku, bukannya memberi dukungan, namun lebih pada memancing rasa frustasiku. Bukankah perihal menggambar butuh suasana yang tenang? Ini kanvasku! Apapun yang terjadi, akulah yang paling berhak untuk melakukan apa saja pada kanvasku ini…! Kalian hanya perlu menghentikan ocehan monyet kalian!

Susah payah aku mencari tempat yang tenang, namun bukan hidup namanya kalau tidak ada permasalahan. Baru beberapa hari aku mendapat tempat yang tenang, datang anasir yang merasa bahwa dia lebih expert, yang menganggap bahwa aku tidak lebih baik daripada dia, yang mengatasnamakan “demi kepentingan bersama”, mencoba meng-take over ketidakmampuanku mencipratkan warna-warni pada bidang kanvas milikku. Emosi sudah menguasai rasioku. Yang ada saat itu hanyalah sumpah serapah, bahwa Dia salah orang!!

Tidak ada kata, bahkan sebuah abjad pun keluar dari mulutku saat aku kembali pada kesibukanku semula. Kutenggelamkan diri dalam lautan teks dan gambar di dalam monitor. Kubuka kembali file-fileku yang tertunda. Semakin kuperhatikan apa yang terpampang di depan mataku, semakin sedikit aku mengingat “tugas” yang mestinya sudah paten menjadi prioritasku. Pelarianku hanyalah pada aplikasi menggambar kesukaanku.

Namun Dia tetaplah Dia. Apa yang menjadi kehendak-Nya tetaplah kehendak-Nya. Seberapa jauh aku berada, seberapa dalam aku tenggelam,…image kanvas-Nya sebesar biji dzarrah pun mustahil bisa dilupakan. Seberapa matang, detil dan terencana apa yang kita rencanakan, kalau kuasa-Nya sudah ditetapkan, saat itulah kita musti tunduk pada-Nya. Bagaimanapun rencana-Nya tetap jauh paling baik daripada rencana kita.

Cukup beberapa pilah kata dari eldest, bahwa keadaan disana tidak jauh lebih baik saat aku kembali disini….bertambah buruk malah! Saat itulah,…kupetik pelajaran bahwa “Nepotisme Tidak Dapat Dihapuskan Di Muka Bumi”. Orang yang selama ini kukenal sebagai the-most-objective-person, bahkan tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang kusodorkan. Opsi yang ada hanyalah sebuah klise belaka. Serentak benakku teringat pada sebuah “demi kepentingan bersama”. wtf! His lack of capabilities giving solutions in any cases, it’s proven now. Note that, don’t give any sugs if you yourself can’t do that.

Ketidaksadaranku terjebak dalam arus lebih karena aku terlalu fokus ke permasalahan. So many opportunities are missed. I forgot that I have to return to the ground. Since there’s “earth-element” in my name.





Aku ingat, terakhir masih sempat memoleskan dua-tiga sapuan kuas, namun aku tidak ingat warna apa. Bahkan aku juga lupa, palet warna apa yang kugunakan waktu itu. Kudatangi tempat terakhir dimana aku meninggalkannya. Dan…